Home | Buku Tamu | Materi Kuliah | Artikel

Jumat, 01 Februari 2008

Pendahuluan

BAB I

PENDAHULUAN


A. PENDAHULUAN

1. Tujuan Intruksional Khusus

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian fikih mawaris.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan hukum membagi warisan sesuai dengan kewarisan Islam dan mempelajari kewarisan, serta dapat menguraikan kandungan ayat kewarisan 11, 12 dan 176.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan tujuan dan filosofi kewarisan Islam.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan asas-asas kewarisan Islam.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan hukum kewarisan yang belaku di Indonesia.

2. Keterkitan materi dengan materi yang lain

Materi Bab I ini memuat pengertian, hukum dan sumber hukum kewarisan, tujuan kewarisan Islam, Asas-asas kewarisan Islam, hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan nasional. Sehingga materi tersebut merupakan materi pengantar sebelum mempelajari materi di bab-bab selanjutnya.

3. Pentingnya mempelajari isi bab

Sebagai materi pengantar, maka materi ini sangat penting untuk dipahami sebelum mempelajari materi-materi selanjutnya. Karena untuk mempelajari ilmu mawaris, harus diketahui terlebih dahulu pengertian, hukum dan sumber hukum kewarisan, tujuan kewarisan Islam, Asas-asas kewarisan Islam, hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan nasional.

4. Petunjuk mempelajari isi bab

Materi bab ini hendaknya dipahami terlebih dahulu secara baik, terutama kaitannya dengan sumber hukum kewarisan. Karena dengan memahami sumber hukum kewarisan baik berupa ayat al-quran maupun hadis, maka akan memudahkan untuk mengetahui dan memahami bagian-bagian dari penerima (ahli waris).

B. PENGERTIAN

Secara etimologis Mawaris adalah bentuk jamak dari kata miras (موارث), yang merupakan mashdar (infinitif) dari kata : warasa – yarisu – irsan – mirasan. Maknanya menurut bahasa adalah ; berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.[1]

Sedangkan maknanya menurut istilah yang dikenal para ulama ialah, berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.[2]

Jadi yang dimaksudkan dengan mawaris dalam hukum Islam adalah pemindahan hak milik dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli waris yang masih hidup sesuai dengan ketentuan dalam al-Quran dan al-Hadis.

Sedangkanm istilah Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.[3]

Sedangkan Wirjono Prodjodikoro mendefinisikan warisan sebagai berikut; soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[4]

Fiqih Mawaris juga disebut Ilmu Faraid, diambil dari lafazh faridhah, yang oleh ulama faradhiyun semakna dengan lafazh mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya.[5] Jadi disebut dengan ilmu faraidh, karena dalam pembagian harta warisan telah ditentukan siapa-siapa yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak, dan jumlah (kadarnya) yang akan diterima oleh ahli waris telah ditentukan.

C. HUKUM DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN

1). Hukum Kewarisan

Dalam hukum kewarisan terdapat dua hal, yaitu, hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam dan hukum mempelajari dan mengajarkannya.

a. Hukum membagi harta warisan menurut ketentuan syari’at Islam

Bagi umat Islam melaksanakan peraturan-peraturan syari’at yang telah ditentukan nash yang sharih adalah suatu keharusan, selama peraturan tersebut tidak ditunjuk oleh dalil nash yang lain yang menunjukkan ketidak-wajibannya.[6] Dalam hal ini kita dapat merujuk nash al-Quran maupun al-Hadis yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu :

a. Surat an-Nisa’ ayat 13 dan 14 :

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa’ : 13).

Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Allah bakal memasukkannya ke dalam neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S. An-Nisa’ : 13-14).

b. Hadis Rasulullah SAW.

Bagilah harta (warisan) antara ahli-ahli waris menurut kitabullah (al-Quran). (H.R. Muslim dan Abu Dawud).

Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis tersebut, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah. Sehingga terhadap orang lain yang tidak mendapatkan harta melalui kewarisan dapat diberikan melalui wasiat atau hibah. Demikian pula bagi ahli waris yang merasa tidak membutuhkan dan tidak mau menerima pembagian harta warisan, dapat memberikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan melalui hibah.

Dalam Undang-undang Kewarisan Mesir adanya ketentuan wasiat wajibah bagi cucu perempuan dari garis perempuan yang tidak memperoleh harta warisan karena sebagai zawil arham. Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam ditemukan pula ketentuan wasiat wajibah bagi orang tua angkat atau anak angkat. Hal tersebut menurut penulis langkah yang tepat demi mewujudkan keadilan dengan tanpa menyalahi ketentuan syari’at.

b. Hukum mempelajari dan mengajarkannya.

Islam mengatur ketentuan pembagian harta waris secara rinci agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikaian antara ahli waris. Hal tersebut seringkali terjadi jika seseorang meninggal dunia, menimbulkan perselisihan bagi ahli warisnya dalam pembagian harta, bahkan tidak jarang terjadi pertikaian. Seabagai antisipasi hal tersebut, maka ditentukan secara rinci tentang pembagian harta warisan sebagai pedoman.

Dengan telah ditetapkannya pembagian harta warisan dalam Islam, maka harus ada orang yang mempelajari dan mengajarkannya. Sehingga orang-orang yang telah mempelajarinya dapat merealisasikan didalam pembagian harta warisan bagi umat Islam.

Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan fiqih mawaris adalah wajib kifayah. Dalam artian apabila telah ada sebagian orang yang melakukannya (memenuhinya) maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Tetapi apabila tidak ada seorang pun yang melaksanakan kewajiban tersebut, maka semua orang menanggung dosa.

Dalam hadis Nabi dinyatakan ;

Pelajari oleh kalian al-Quran dan ajarkanlah kepada orang lain, dan pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah orang yang bakal terengut (mati) sedang ilmu akan dihilangkan. Hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberikan fatwa kepada mereka. (H.R. Ahmad, Nasai dan al-Daruqutny).

Berdasarkan hadis tersebut, ditempatkan perintah mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh dengan perintah mempelajari dan mengajarkan al-Quran, menandakan betapa pentingnya ilmu faraidh tersebut. Hal tersebut sebagai upaya mewujudkan pembagian warisan yang berkeadilan dan menurut ketentuan syariat Islam. Terlebih kecenderungan manusia yang materialistik, maka ketentuan pembagian warisan tersebut sangat penting agar terhindarnya konflik dan perselisihan.

2). Sumber Hukum Kewarisan

Hukum kewarisan bersumber pada al-Quran dan al-Hadis yang menjelaskan ketentuan hukum kewarisan.

a. Al-Quran

(1). Surat an-Nisa’ ayat 7 :

Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (An-Nisa’ : 7).

Menurut ayat kewarisan tersebut baik laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi harta yang ditinggalkan ibu-bapa maupun kerabatnya. Hal tersebut menghapuskan tradisi yang berlaku pada masa jahiliyah, yang berhak menerima warisan hanya laki-laki yang dewasa saja.

(2). Surat al-Ahzab ayat 6 :

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang muhajirin kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama), adalah yang demikian itu telah tertulis dalam kitab (Allah). (Al-Ahzab : 6).

Berdasarkan ayat tersebut, orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih berhak mewarisi harta seseorang yang meninggal dunia daripada orang lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan, jika mau berbuat baik kepada orang lain (seagama) dengan melalui hibah atau wasiat.

(3). Surat an-Nisa’ ayat 11 dan 12 :

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. (An-Nisa’ : 11).

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai naka, maka para isteri meperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja) maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (An-Nisa’ : 12).

Kedua ayat tersebut menjelaskan secara rinci bagian-bagian ahli waris baik yang termasuk ashabul furudl maupun ashabah.

Ayat-ayat lain yang berhubungan dengan kewarisan adalah al-Baqarah 180, An-nisa’ 8,9,176 dan al-Anfal 75.

b. Al-Hadis

(1). Riwayat Bukhari dan Muslim.

Nabi SAW. bersabda; Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak, sesudah itu sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat kekerabatannya). (H.R. Bukhari dan Muslim).

(2). Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim

Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang muslim. (H.R. Bukhari dan Muslim).

(3). Riwayat Bukhari dan Muslim dari Sa’ad ibn Abi Waqqas tentang batas maksimal pelaksanaan wasiat.

Rasulullah SAW. datang menjengukku pada tahun haji wada’ diwaktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau,” wahai Rasulullah, aku sedang menderita sakit keras, bagaimana pendapatmu, aku ini orang berada sementara tidak ada yang akan mewarisi hartaku selain seorang anak perempuan, apakah aku sedekah (wasiat) kan dua peretiga hartaku? “Jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “setengah”? “jangan” jawab Rasul. Aku bertanya “sepertiga”? Rasul menjawab “sepertiga” sepertiga adalah banyak atau besar, sungguh kamu jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang. (H.R. Bukhari dan Muslim).

D. TUJUAN KEWARISAN ISLAM

Adapun tujuan kewarisan Islam dapat kita rumuskan sebagai berikut :

1). Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci dan jelas, bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara ahli waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing ahli waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti kehendak dan keinginan masing-masing.

2). Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada masa jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan pembagian kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-masing berhak menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan tanggung jawabnya.

E. ASAS KEWARISAN ISLAM

Berdasarkan nash baik al-Quran maupun al-Hadis, maka kita dapat merumuskan asas-asas kewarisan Islam sebagai berikut :

1). Asas Ijbari;

2). Asas Bilateral;

3). Asas Individual;

4). Asas Keadilan Berimbang;

5). Asas kewarisan semata akibat kematian.[7]

1). Asas Ijbari

Dalam hukum Islam peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya, yang dalam pengertian hukum Islam berlaku secara ijbari.[8] Kata ijbari secara etimologis mengandung arti paksaan (compulsory), yaitu melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri.

Hal tersebut berarti bahwa peralihan harta dari seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya berlangsung dengan sendirinya berdasarkan ketetapan Allah, tanpa bergantung kepada kepada ahli waris atau pewaris.

Adapun asas ijbari dalam kewarisan Islam terjadi dalam hal :

a. Segi peralihan harta;

b. Segi jumlah pembagian;

c. Segi kepada siapa harta itu beralih.[9]

2). Asas Bilateral

Asas bilateral dalam kewarisan Islam, berarti bahwa seseorang menerima warisan dari kedua belah pihak kerabat, yaitu baik dari kerabat garis keturunan laki-laki maupun perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat an-Nisa’ ayat 7.

Amir syarifuddin menyatakan, bahwa seorang laki-laki berhak menerima warisan dari pihak ayahnya juga dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak mendapat warisan dari kedua pihak orang tuanya.[10]

Demikian pula dapat dilihat dari surat an-nisa’ ayat 12, bahwa baik duda maupun janda saling mewarisi, saudara laki-laki mewarisi dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya.[11]

Kemudian sebagaimana termuat dalam surat an-Nisa’ ayat 33, menurut Hazairin bahwa, cucu baik laki-laki maupun perempuan mewarisi menggantikan ibu atau bapaknya.[12]

3). Asas Individual

Asas individual artinya ialah, dalam system hukum kewarisan Islam, harta peninggalan yang ditinggalkan dibagi secara individual secara pribadi langsung kepada masing-masing.

Asas individual dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat pada surat an-nisa’ ayat 11, yaitu ;

a. Bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian anak perempuan;

b. Bila anak perempuan itu dua orang atau lebih baginya dua pertiga dari harta peninggalan;

c. Dan jika perempuan itu hanya seorang saja maka baginya seperdua harta peninggalan.[13]

Pembagian secara individual ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan manjalankan kewajiban, yang dalam istilah ushul fiqih disebut “ahliyat al-wujub”.[14] Akan tetapi berlaku pula ketentuan lain yaitu kecakapan untuk bertindak yang dalam ushul fiqih disebut “ahliyatul ada’ ”.[15] Dalam artian pembagian harta tersebut diberikan kepada seseorang secara individual, dengan catatan adanya kecakapan orang tersebut.

4). Asas keadilan berimbang

Hak waris yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan pelanjutan tanggung jawab pewaris kepada keluarganya (ahli waris), sehingga kadar yang diterima oleh ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang.

Seorang laki-laki memikul tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan, sehingga suatu hal yang wajar jika bagiannya dua kali bagian perempuan. Tanggung jawab tersebut dari ayat al-Quran :

1). Al-Baqarah 23 :

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. (Q.S. Al-Baqarah : 23).

2). An-Nisa’ 34 :

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihi sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena itu mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….(Q.S. An-Nisa’ : 34).

3). Ath-Thalaq 6 :

Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmua….(Ath-Thalaq : 6).

5). Asas kewarisan semata akibat kematian

Hukum kewarisan Islam menetapkan bahwa peralihan harta melalui cara kewarisan, dilakukan setelah orang yang mempunyai harta meninggal. Hal tersebut dapat dikaji dari penggunaan kata-kata warasa.

Hubungan kewarisan Islam dengan kewarisan Nasional

Di Indonesia sampai saat ini belum terdapat suatu kesatuan hukum kewarisan yang dapat diterapkan secara universal bagi seluruh warga negara Indonesia. Oleh karenanya hukum kewarisan yang diterapkan bagi warga negara Indonesia berbeda-beda mengingat penggolongan dari warga negara.

Penggolongan tersebut adalah :

1). Bagi warga negara Indonesia asli

Bagi warga negara Indonesia asli pada prinsipnya berlaku Hukum Adat. Yang dalam hal ini sudah barang tentu terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Perbedaan tersebut karena adanya perbedaan sifat kekeluargaan mereka masing-masing.

Sifat kekeluargaan (keturunan) dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu ;

a. Sistem Patrilinial, yaitu ditarik menurut garis bapak.

b. Sistem Matrilinial, yang ditarik menurut garis ibu.

c. Sistem Parental, yang ditarik menurut garis ibu-bapak.[16]

2). Bagi warga negara golongan Indonesia asli yang beragama Islam

Bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam, selain dipengaruhi hukum kewarisan adat, juga banyak dipengaruhi oleh kewarisan Islam. [17]

Berkaitan dengan hal tersbut, hendaknya hukum kewarisan yang berlaku di masing-masing daerah (hukum kewarisan adat) harus disesuaikan dan berpedoman pada kewarisan Islam. Sebab umat Islam mengatur segala aspek kehidupan bagi umatnya.

3). Bagi orang-orang Arab

Pada umumnya seluruh hukum kewarisan Islam berlaku bagi orang-orang Arab di Indonesia.[18]

4). Bagi orang Tionghoa da Eropa

Bagi orang Tionghoa dan Eropa, bagi mereka berlaku hukum warisan yang termuat dalam Burgelijk Wetboek (BW) buku II pasal 830 sampai dengan pasal 1130.[19]

F. RANGKUMAN

1. Fiqih Mawaris dimaksudkan ilmu fiqih yang mempelajari siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya.

2. Berdasarkan nash al-Quran dan al-Hadis, maka diisyaratkan keharusan (kewajiban) membagi harta warisan menurut ketentuan al-Quran dan al-Hadis. Tetapi selain pemindahan hak kepemilikan melalui kewarisan, adanya ketentuan wasiat dan hibah maupun sadakah sebagai model lain peralihanharta.

3. Hukum mempelajari ilmu mawaris adalah fardhu kifayah

4. Sumber hukum kewarisan Islam adalah al-Quran, al-hadis, ijma’ dan sumber hukum lainnya.

5. Asas kewarisan dalam Islam adalah :

a. Asas Ijbari;

b. Asas Bilateral;

c. Asas Individual;

d. Asas Keadilan Berimbang;

e. Asas kewarisan semata akibat kematian

6. Di Indonesia belum adanya unifikasi hukum kewarisan, sehingga yang berlaku adalah bagi WNI yang beragama Islam berlaku hukum kewarisan Islam dan adat, bagi yang beragama lainyya berlaku BW.

G. LATIHAN/TUGAS

Soal latihan :

1. Apa pengertian fikih mawaris, dan mengapa disebut juga dengan ilmu faraid?

2. Apa tujuan kewarisan Islam? Jelaskan!

3. Jelaskan hukum membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan kewarisan Islam? Dan bagaimana bagi umat Islam yang tidak melaksanakan pembagian sesuai dengan ketentuan tersebut?

4. Jelaskan asas-asas kewarisan dalam Islam.

Tugas :

Hapalkan dan jelaskan kandungan makna ayat-ayat kewarisan yang termuat dalam surat an-nisa’ 11, 12, 176.

H. RUJUKAN

Abdul Wahab khalaf, Ushul al-Fiqih, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jakarta, 1974

Abu Abdillah Muhammad al-Qurtuby, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Quran, V, Al-Kitab Al-Arabiyah, Cairo, 1967

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al- Ma’arif, Bandung, 1975

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan al-Hadis, cet. Ke-V, Tinta Mas, Jakarta, 1981

M. Idris Ramulyo, SH, Perbandingan Hukum Kewarisan Islan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1992

Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris menurut Islam, Penerjemah, AM. Basalamah, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 20-21.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983, hlm. 13.



[1] Lihat kamus bahasa arab.

[2] Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris menurut Islam, Penerjemah, AM. Basalamah, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hlm. 33.

[3] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hlm. 1.

[4] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983, hlm. 13.

[5] Drs. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al- Ma’arif, Bandung, 1975, hlm. 31

[6] Drs. Fatchur Rahman, Op. Cit, hlm. 34

[7] Dr. M. Idris Ramulyo, SH, Perbandingan Hukum Kewarisan Islan, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1992, hlm. 118.

[8] Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam lingkaran Adat Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta, 1984, hlm. 18.

[9] Dr. M. Idris, Op. Cit., hlm. 119.

[10] Amir syarifuddin, Op. Cit., hlm. 20

[11] Ibid.

[12] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran dan al-Hadis, cet. Ke-V, Tinta Mas, Jakarta, 1981,hlm. 37.

[13] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 20-21.

[14] Abdul Wahab khalaf, Ushul al-Fiqih, Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jakarta, 1974, hlm. 136.

[15] Abu Abdillah Muhammad al-Qurtuby, Al-Jami’ Li Ahkami Al-Quran, V, Al-Kitab Al-Arabiyah, Cairo, 1967, hlm. 28.

[16] Drs. Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 27

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Ibid., hlm. 28

Kembali

Tidak ada komentar: