Home | Buku Tamu | Materi Kuliah | Artikel

Jumat, 01 Februari 2008

UNSUR-UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN

A. PENDAHULUAN

1. Tujuan Intruksional Khusus

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan unsur-unsur kewarisan Islam.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan syarat-syarat yang berkaitan dengan unsur-unsur kewarisan.

2. Keterkitan materi dengan materi yang lain

Setelah mahasiswa mengetahui sebab-sebab adanya hak kewarisan dalam Islam dan sebab-sebab yang menjadi penghalang kewarisan. Maka materi selanjutnya yang relevan diberikan adalah unsur-unsur dan syarat kewarisan yang sebelum diberikan materi kewajiban yang berkaitan dengan harta warisan.

3. Pentingnya mempelajari isi bab

Unsur-unsur kewarisan beserta syarat-syaratnya sangat perlu dipahami oleh mahasiswa, karena istilah-istilah yang berkaitan dengan unsur terebut harus dipahami oleh mahasiswa seperti muwaris, maurus dan lainya.

4. Petunjuk mempelajari isi bab

Unsur-unsur kewarisan Islam menggunakan istilah bahasa arab, seperti muwaris, maurus dan sebagainya, sehingga akan lebih baik jika mahasiswa membawa dan membuka kamus bahasa arab untuk memudahkan pemahaman. Selain itu, unsur maurus sangat berkaitan dengan fikih muamalah dalam materi benda dan hak-hak kebendaan, hendaknya mahasiswa membaca materi tersebut dalam fikih muamalah untuk memudahkan pemahaman.

B. UNSUR DAN SYARAT KEWARISAN

Dalam kewarisan Islam terdapat tiga unsur (rukun), yaitu :

a. Maurus.

b. Muwaris.

c. Waris.

Maurus atau miras adalah harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat. Dalam hal ini yang diamaksdukan hal tersebut adalah :

a. Kebendaan yan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda-benda tetap, benda-benda bergerak, piutang-piutang si mati, diyat wajibah (denda wajib) yang dibayarkan kepadanya.

b. Hak-hak kebendaan, seperti monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu lintas, sumber air minum, irigasi dan lain sebagainya.

c. Benda-benda yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar[1] dan hak syuf’ah[2], hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan dan sebagainya.

d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain, seperti benda yang sedang digadaikan, benda yang telah dibeli oleh si mati sewaktu masih hdup yang sudah dibayar tetapi barang belum diterima.[3]

Terhadap maurus tersebut terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut ;

a. Fuqaha Hanafiyah

Menurut mereka maurus adalah harta benda yang ditinggalkan si mati, yang tidak mempunyai hubungan hak dengan orang lain. Sehingga yang dikatakan maurus menurut mereka hanya apa-apa yang termasuk dalam nomor 1 dan 2 saja.

b. Ibnu Hazm

Ibnu Hazm sependapat dengan fuqaha Hanafiyah yang menyatakan bahwa harta peninggalan yang harus diwarisi adalah berupa aharta benda. Sedangkan yang berupa hak-hak tidak dapat diwarisi.

c. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah.

Menurut mereka, maurus adalah segala yang ditinggalkan oleh si mati, berupa harta benda maupun hak-hak. Baik hak-hak tersebut berupa kebendaan maupun bukan kebendaan.[4]

Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya.[5]

Waris, adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan muwaris karena mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan atau akibat memerdekakan hamba sahaya.

Adapun syarat-syarat terjadinya pembagian harta warisan dalam Islam adalah ;

a. Matinya muwaris.

b. Hidupnya waris.

c. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi.

Pertama, Matinya muwaris

Kematian muwaris dibedakan kepada tiga macam yaitu :

a. Mati haqiqy.

b. Mati hukmy.

c. Mati taqdiry (menurut dugaan).[6]

Mati haqiqy, ialah kematian seseorang yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

Mati hukmy, ialah suatu kematian disebabkan adanya vonis hakim. Misalnya orang yang tidak diketahui kabar beritanya, tidak diketahui domisilinya, maka terhadap orang yang sedemikian hakim dapat memvonis telah mati. Dalam hal ini harus terlebih dahulu mengupayakan pencarian informasi keberadaannya secara maksimal.

Mati taqdiry, yaitu orang yang dinyatakan mati berdasarkan dugaan yang kuat. Semisal orang yang tenggelam dalam sungai dan tidak diketem,ukan jasadnya, maka orang tersebut berdasarkan dugaan kuat dinyatakan telah mati. Contoh lain, orang yang pergi kemedan peperangan, yang secara lahiriyah mengancam jiwanya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka dapat melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal.

Kedua, hidupnya waris.

Dalam hal ini, para ahli waris yang benar-benar hiduplah disaat kematian muwaris, berhak mendapatkan harta peninggalan. Berkaiatan dengan bayi yang masih berada dalam kandungan akan dibahas secara khusus.

Ketiga, Tidak ada penghalang kewariosan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hal-hal yang menjad penghalang kewarisan.

C. RANGKUMAN

Dalam kewarisan Islam, sebab-sebab yang menjadi penghalang kewarisan adalah :

1. Unsur-unsur dalam kewarisan Islam adalah muwaris, maurus dan waris.

2. Muwaris adalah orang yang meninggal dan hartanya akan diwarisi. Kematian tersebut bisa didasarkan pada kematian hakiki, hukmy atau taqdiri.

3. Maurus adalah harta yang ditinggalkan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Dalam hal ini terjadinya perbedaan pendapat dalam kaitan hak-hak kebendaan atau harta yang berkaitan dengan orang lain.

4. Waris adalah orang yang menerima warisan atau disebut sebagai ahli waris. Dalam hal ini ahli waris yang masih hiduplah yang berhak mendapat warisan. Sedangkan bayi dalam kandungan akan dibahas pada fikih mawaris 2.

D. LATIHAN/TUGAS

Soal latihan :

1. Sebutkan unsur-unsur kewarisan dalam Islam serta jelaskan masing-masing unsur tersebut!

2. Jelaskan maksud dari mati hakiky, hukmy dan taqdiry!

3. Menurut para ulama, harta apa saja yang dapat diwariskan. Jelaskan argumentasi dan dalil masing-masing!

E. RUJUKAN

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Al- Ma’arif, Bandung, 1975



[1] Khiyar majlis dan khiyar syarat.

[2] Hak beli yang diutamakan bagi salah satu anggota syarikat atas sesuatu (barang) yang dijual anggota syarikat lainnya.

[3] Drs. Facthur Rahman, Op. Cit., hlm. 36-37.

[4] Ibid., hlm. 36-38

[5] Drs. Ahmad rofiq, MA, Op. Cit., hlm. 22

[6] Drs. Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 79

Tidak ada komentar: