Home | Buku Tamu | Materi Kuliah | Artikel

Jumat, 01 Februari 2008

MACAM-MACAM AHLI WARIS

A. PENDAHULUAN

1. Tujuan Intruksional Khusus

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan macam-macam ahli waris.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dan yang termasuk ahli waris ashabul furud serta bagin-bagian masing-masing.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian asabah dan mekanisme untuk menentukan penerima asabah jika ahli waris asabah lebihdari satu.

Ø Mahasiswa dapat menjelaskan ahli wari zawi arl-arham serta pendapat para ulama jika tidak ada ahli waris ashabul furud dan asabah.

2. Keterkitan materi dengan materi yang lain

Setelah mengetahui materi-materi sebelumnya, dari pendahuluan sampai dengan kewajiban yang berkaitan dengan harta warisan, maka mahasiswa sudah siap menerima materipokok dalam (yang utama) dalam fikih mawaris, yaitu macam-macam ahli waris. Yang kemudian dilanjutkan dengan materi metode perhingan pembagian harta warisan.

3. Pentingnya mempelajari isi bab

Materi ini adalah materi pokok dan yang terpenting, karena dengan mampu menjelaskan macam-macam ahli wris dan bagian-bagian yang akan diterimanya adalah suatu kompetensi yang utama dalam fikih mawaris.

4. Petunjuk mempelajari isi bab

Untuk memudahkan memahami materi ini hendaknya dipahami secara runtut, macam-macam ahli waris tersebut. Serta untuk memudahkan memahami macam-macam ahli waris tersebut hendaknya mahasiswa memahami ayat-ayat kewarisan terutama an-Nisa’ ayat 11 dan 12.

B. AHLI WARIS BERDASARKAN PENYEBAB ADANYA HAK KEWARISAN

Ahli waris ada dua macam, yaitu :

a. Ahla waris nasabiyah, karena hubungan darah.

b. Ahli waris sababiyah, timbul karena :

- Perkawinan yang sah.

- Memerdekakan hamba sahaya (al-wala’) atau karena perjanjian tolong menolong.[1]

Jumlah keseluruhan ahli waris baik nasabiyah maupun sababiyah terdiri dari 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.

Yang termasuk ahli waris nasabiyah yang laki-laki berjumlah 13, yaitu :

1. Anak laki-laki (al-ibn)

2. Cucu laki-laki garis laki-laki (ibn al-ibn) dan seterusnya kebawah.

3. Bapak (al-ab)

4. Kakek dari bapak (al-jadd min jihat al-ab)

5. Saudara laki-laki sekandung (al-akh al-Syaqiq)

6. Saudara laki-laki seayah (al-akh li al-ab)

7. Saudara laki-laki seibu (al-akh li al-umm)

8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al-akh al-syaqiq)

9. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah (ibn al-akh li al-ab)

10. Paman, saudara bapak sekandung (al-amm al-syaqiq)

11. Paman seayah (al-amm li al-ab)

12. Anak laki-laki paman sekandung (ibn al-amm al-syaqiq)

13. Anak laki-laki paman seayah (ibn al-amm li al-ab).[2]

Sedangkan ahli warisa nasabiyah yang perempuan berjumlah 8 orang, sebagai berikut :

1. Anak perempuan (al-bint)

2. Cucu perempuan garis laki-laki (bint al-ibn)

3. Ibu (al-umm)

4. Nenek garis bapak (al-jaddah min jihat al-ab)

5. Nenek garis ibu (al-jaddah min jihat al-umm)

6. Saudara perempuan sekandung (al-ukht al-syaqiqah)

7. Saudara perempuajn seayah (al-ukht li al-ab)

8. Saudara perempuan seibu (al-ukht li al-umm).[3]

Sedangkan ahli waris sababiyah yang laki-laki yaitu suami dan orang laki-laki yang memerdekakan hamba sahaya. Dan ahli waris sababiyah yang perempuan adalah isteri dan orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya atau perjanjian tolong menolong.[4]

D. AHLI WARIS BERDASARKAN BAGIAN YANG DITERIMA

1. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar kecilnya bagian yang diterima berdasarkan al-Quran dan hadis nabi SAW., seperti ½, 1/3, 1/6, ¼, atau 1/8.

2. Ahli waris ‘asabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud.

3. Ahli waris zawil arham, yaitu ahli waris yang mempunyai hubungan darah tetapi menurut ketyentuan al-quran dan hadis tidak berhak menerima warisan baik melalui furud maupun ta’sib. [5]

Ahli waris ashab al-furud

Dinamakan ahli waris ashab al-furud karena bagian-bagiannya telah ditentukan oleh al-quran dan hadis, atau disebut furudul muqaddarah. Bagian-bagian tersebutlah yang akan diterima oleh ahli waris menurut jauh dekatnya hubungan kekerabatan.

Adapun macam-macam furudul muqaddarah yang diatur dalam al-quran ada 6, yaitu :

a. setengah / 1/2 (al-nisf)

b. Sepertiga / 1/3 (al-sulus)

c. Seperempat / ¼ (al-rubu’)

d. Seperenam / 1/6 (al-sudus)

e. Seperdelapan / 1/8 (al-sumun)

f. Dua pertiga 2/3 (al-sulusain)

Pada umumnya ahli waris ashab al-furud adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang termasuk ashab al-furud adalah bapak, atau kakek dan suami. Selain itu laki-laki menerima bagian ashabah.

Adapun hak-hak yang diterima ahli waris ashab al-furud adalah :

a. Anak perempuan, berhak menerima bagian :

½ jika sendirian tidak bersama anak laki-laki.[6]

2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama-sama anak laki-laki

b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima :

½ jika sendirian

c. Ibu, berhak menerima bagian :

- 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far’u waris) atau saudara dua orang atau lebih.

- 1/6 jika ada far’u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.

- 1/3 sisa, dalam masalah gharrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari : suami/isteri, ibu dan bapak.

d. Bapak berhak menerima bagian :

- 1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki.

- 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki.

Jika bapak bersama ibu :

- Masing-masing 1/6 jiaka ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.

- 1/3 untuk ibu, bapak menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.

- Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami atauy isteri.

e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian :

- 1/6 jika seorang.

- 1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.

f. Kakek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian :

- 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki.

- 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki.

- 1/6 atau muqassamah (bagi rata) dengan saudara sekandung atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain, 1/3 atau muqassamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidak ada ahli waris lain.[7]

g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub berhak menerima bagian :

- ½ jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

- 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.

h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub berhak menerima bagian :

- ½ seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.

- 2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki-laki seayah.

- 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3.

i. Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan kedudukannya sama, apabila tidak mahjub berhak menerima :

- 1/6 jika seorang diri.

- 1/3 dua orang atau lebih.

- Bergabung menerima 1/3 dengan saudara sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris suami dan ibu (musyarakah).

j. Suami, berhak menerima bagian :

- ½ jika tidak mempunyai anak atau cucu.

- ¼ jika bersama dengan anak atau cucu.

k. Isteri, berhak menerima bagian :

- ¼ jika tidak mempunyai anak atau cucu.

- 1/8 jika bersama anak atau cucu.[8]

Ahli Waris Ashabah

Ashabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab al-furud. Jadi ahli waris ashabah adalah ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud yang telah ditentukan bagiannya (besar kecilnya) menurut al-quran dan al-hadis. Karena menerima bagian sisa, maka ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak, terkadang menerima sedikit, atau bahkan tidak mendapat bagian sama sekali karena telah habis dibagikan kepada ahli waris ashab al-furud.

Di dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang diutamakan dan terlebih dahulu menerima bagian ashabah. Konsekuensinya ahli waris ashabah yang peringkat kekerabatannya dibawah tidak menerima bagian ashabah selagi ada ahli waris ashabah yang kekerabatannya lebih dekat. Dasar pembagian yang sedemikian adalah perintah Rasulullah SAW. :

Berikanlah bagian-bagian tertentu kepada ahli waris yang berhak, kemudian sisanya untuk ahli waris laki-laki yang lebih utama. (Muttafaqun ‘alaih).

Adapun ahli waris ashabah terbagi menjadi tiga macam, yaitu :

a.‘Ashabah bi nafsih, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ahsabah. Ahli ahsabah bi nafsih semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (perempuan yang memerdekakan hamba sahaya). Yang termasuk ahli waris ashabah bi nafsih adalah :

1. Anak laki-laki.

2. Cucu laki-laki dari garis laki-laki.

3. Bapak.

4. Kakek (dari garis bapak).

5. Saudara laki-laki sekandung.

6. Saudara laki-laki seayah.

7. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.

8. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.

9. Paman sekandung.

10. Paman seayah.

11. Anak laki-laki paman sekandung.

12. Aanak laki-laki paman seayah.

13. Mu’tiq dan mu’tiqah (laki-laki atau permpuan yang memerdekakan hamba sahaya).[9]

Apabila ahli waris ashabah bi nafsih cukup banyak maka ahli waris ashabah bi nafsih yang lebih utamalah yang berhak menerima bagian sisa. Untuk mengetahui ahli waris ashabah bii nafsih yang lebih utama tersebut dilakukan tarjih (dicari yang lebih kuat hubungan kekerabatannya), yaitu :

1.Tarjih bil jihat , yaitu dengan mendahulukan (mengutamakan) jihat bunuwah (anak) dari jihat ubuwah (bapak), mendahulukan jihat ubuwah (bapak) dari jihat ukhuwah (saudara) dan mendahulukan jihat ukhuwah (saudara) dari jihat ‘umumah (paman). Dalam artian jika ashabah terdiri dari anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki dan paman, maka anak laki-laki yang berhak menerima bagian sisa. Demikian juga jika ahli waris terdiri dari bapak, saudara laki-laki dan paman, maka bapak yang berhak menerima bagian sisa.

2. Tarjih biddarajah, yaitu dengan mendahulukan ahli waris ashabah yang mempunyai tingkat kekerabatannya lebih.. Misalnya anak laki-laki dengan cucu laki-laki, maka anak laki-laki yang berhak menerima bagian sisa karena tingkat kekerabatannya lebih dibandingkan cucu laki-laki.. Demikian juga bapak didahulukan dari kakek karena tingkat kekerabatannya lebih dibandingkan kakek.

3. Tarjih buquwwatil qarabah, yaitu tarjih dengan mendahulukan ahli waris ashabah yang mempunyai hubungan kekerabatan lebih kuat. Misalnya saudara laki-laki sekandung didahulukan dari saudara laki-laki seayah karena hubungan kekerabatannya lebih kuat. Demikian juga anak laki-laki sekandung didahulukan dari anak laki-laki seayah.[10]

b. Ashabah bi al-ghair, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang berhak menerima bagian sisa. Ahli waris ashabah bi al-ghair tersebut adalah :

1. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.

2. Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki.

3. Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung.

4. Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.[11]

Ashabah bi al-ghair didasari pada ketentuan bagian laki-laki dua bagian perempuan. Sehingga ketika anak perempuan bersama anak laki-laki, atau saudara perempuan bersama saudara laki-laki, maka mereka bersama-sama menerima bagian ashabah dengan ketentuan bagian laki-laki dua bagian perempuan. Ketentuan tersebut didasari firman Allah SWT. :

Allah telah menetapkan bagian warisan anak-anakmu untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua orang anak perempuan…(Q.S. An-Nisa’ : 11).

…Jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan…(Q.S. : An-Nisa’ : 176).

c. Ashabah ma’al- ghair, ialah ahli waris yang menerima bagian ashabah kareana bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian sisa. Ashabah ma’al-ghair yaitu :

1. Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih), atau bersama dengan cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih). Misalnya seorang meninggal dunia ahli warisnaya terdiri dari ;

2. Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).[12]. Misalnya seorang meninggal, ahli warisanya terdiri dari : seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing adalah :

- anak perempuan ½

- cucu perempuan garis laki-laki 1/6

- 2 saudara perempuan seayah ‘ashabah.

Jadi pembagian ashabah ma’al ghair karena tidak ada ahli waris ashabah, sehingga diberikan kepada saudara perempuan. Dasar hukum pembagian ashabah ma’al ghair adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud :

Nabi Muhammad SAW. memutuskan bagian anak perempuan setengah, cucu perempuan garis laki-laki seperenam, sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan. (Riwayat Jama’ah, selain imam Muslim dan al-Nasa’i).

Mu’az bin Jabal memberikan warisan kepada saudara perempuan dan anak perempuan masing-masing setengah, ketika berada di Yaman, sedang Nabi Allah SAW. waktu itu masih hidup.

Ahli Waris Zawi al-Arham

Yang dimaksudkan dengan ahli waris zawi al-arham adalah ahli waris yang tidak termasuk dalam ahli waris ashab al-furud dan ahli waris ashabah, sehingga menurut ketentuan al-quran mereka tidak berhak menerima bagian warisan.

Menurut penelitian Ibnu Rusyd, ahli waris yang termasuk zawu al-arham adalah :

1. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari garis perempuan.

2. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara laki-laki (bint al-akh).

3. Anak perempuan dan cucu perempuan saudara-saudara perempuan (bint al-ukht).

4. Anak perempuan dan cucu perempuan paman (bint al-‘amm).

5. Paman seibu (al-‘amm li al-umm).

6. Anak dan cucu saudara-saudara laki-laki seibu (aulad al-akh li al-umm).

7. Saudara perempuan bapak (al-ammah).

8. Saudara-saudara ibu (al-khal dan al-khalah).

9. Kakek dari pihak ibu (al-jadd min jihat al-umm).

10. Nenek dari pihak kakek (al-jaddah min jihat al-jadd).[13]

Para ulama berbeda pendapat, apakah mereka dapat menerima warisan atau tidak.

1. Imam Malik, Syafi’i, Zaid bin Tsabit dan mayoritas ulama Amsar berpendapat bahwa ahli waris zawu al-arham tidak dapat menrima warisan.[14] Sedangkan dari kalngan sahabat yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab, Sa’ad ibnu Jubair, Sufyan al-Sauri, al-Auza’I dan Ibnu Hazm. Jika tidak ada ahli waris yang mewarisi hartanta, maka diserahkan ke bait al-mal.

a. Prinsip dalam pembagian harta waris adalah harus ada dasar dari nash yang qath’I (al-Quran dan Hadis), sedangkan besar kecilnya bagian pusaka zawu al-arham sama sekali tidak dijelaskan. Oleh karena itu, memberikan bagian waris kepada mereka tanpa adanya nash berarti menambah ketentuan hukum baru dan hal ini merupakan kebatilan.

b. Hadis nabi yang diceritakan oleh Atha ibn Yasar :

Artinya :

“Sesungguhnya Rasulullah SAW. mengenakan jubah (pakaian luar) untuk beristikharah (minta petunjuk) kepada Allah SWT. tentang pusaka paman dan bibi, kemudian Allah SWT. memberikan petunjuk bahwa keduanya tidak ada hak pusaka”. (H.R. Sa’ad dalam musnadnya).

c. Apabila diserahkan kepada bait al-mal, maka harta harta pusaka itu akan mendatangkan manfaat yang banyak, dan seluruh kaum muslimin berhak memilikinya. Ini berbeda bila harta itu diberikan kepada zawu al-arham karena kemanfaatannya kecil dan faedahnya hanya terbatas kepada mereka saja, sedangkan orang lain lain tidaklah berhak.

2. Sahabat Abu Bakar, Umar ibn al-Khattab, Usman, Ali, ibn Abbas dalam satu pendapatnya yang masyhur, Ibn Mas’ud, dan Mu’az ibn Jabal berpendapat bahwa ahli waris zawu al-arham dapat menerima warisan, apabila si mati tidak mempunyai ahli waris ashab al-furud dan ashab al-‘ashabah. Dari golongan tabi’in adalah Syuraih al-Qadi, Ibn Sirin, Ata’ dan Mujahid. Sedangkan dari kalangan ulama, Abu Hanifah, Ahmad ibn Hanbal, Abu Yusuf, Muhammad, Ibnu Abi Laila dan umumnya fuqaha Irak, Kufah dan Basrah.

Argumentasi yang mereka kemukakan adalah :

a. Rangkaian kalimat dalam surat al-anfal ayat 75 :

Maknanya adalah :

Yakni sebagian kerabat itu lebih utama mewarisi harta peninggalan kerabat yang lain menurut ketentuan dan ketetapan Allah SWT., ini bukan berarti bahwa sebagian kerabat itu lebih utama daripada sebagian kerabat lainnya hingga membawa akibat adanya penafsiran untuk menyisihkan zawu al-arham. Maka menurut mereka hak mewarisi pada kerabat itu mutlak dan bersifat umum yang didalamnya tercakup zawu al-arham.

b. Menurut riwayat Ahmad bahwa Abu Ubaidah, Al-Jarrah mengirimkan surat kepada Umar ibn al-Khattab ra yang menanyakan tentang siapa yang akan mewarisi harta Sahal ibn Hanif yang tewas terbunuh, dan tidak mempunyai ahli waris selain saudara laki-laki ibu (al-khal). Atas pertanyaan tersebut Umar menjawab :

Artinya :

“Sungguh saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda, paman itu adalah pewaris orang yang tidak mempunyai ahli waris”. (H.R. Turmudzi).

c. Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa ketika peristiwa kematian Sabit bin ad-Dahdah yang tidak meninggalkan seorang pun ahli waris ashabu al-furud maupun ashabah, selain anak laki-laki saudara perempuan yang bernama Abu Lubabah, Rasulullah SAW. menanyakan kepada Ashim tentang siapa-siapa yang menjadi ahli warisnya. Nabi bertanya :

Artinya :

“Apakah kamu mengetahui seorang nasabnya?” Ashim menjawab, “sebenarnya ia adalah orang asing dan kami tidak mengenal keluarganya, selain anak laki-laki saudarinya, yaitu Abu Lubabah ibn Abdul Munzir”. Setelah mendengar jawaban tersebut, Rasulullah menyerahkan menyerahkan harta pusaka Sabit kepada Abu Lubabah”. (H.R. Abu Ubaid).

d. Golongan ini juga mengemukakan dalil aqli, dengan mengatakan bahwa zawu al-arham lebih berhak mewarisi daripada bait al-mal, sebab bait al-mal hanya memiliki ikatan Islam, sedangkan zawu al-arham diikat dengan dua ikatan, yaitu ikatan Islam dan ikatan rahim. Orang yang mempunyai hubungan kerabat dua jihat lebih kuat daripada orang yang mempunyai kekerabatan satu jihat

D. RANGKUMAN

1. Macam-macam ahli waris berdasarkan penyebab memiliki hak kewarisan adalah; perkawinan dan kekerabatan.

2. Macam-macam ahli waris menurut bagian yang diterimanya ada tida : ahli waris ashabul furud, asabah dan zawi al-arham.

1. Untuk menentukan penerima asabah, jika terdiri dari beberapa kelompok, maka yang dilakukan adalah tarjih bi al-jihat, bi ad-darajah dan bi quwatil al-qarabah.

1. Zawu al-arham menurut ketentuan nash tidak mendapat warisan, karena tidak disebutkan sebagai penerima warisan. Akan tetapi dalam hal jika tidak ada ahli waris ashabul furud dan asabah terjadi perbedaan pendapat para ulama.

E. LATIHAN/TUGAS

Soal latihan :

1. Sebutkan dan jelaskan macam-macam ahli waris berdasarkan penyebab mendapatkan hak warisan!

2. Sebutkan dan jelaskan macam-macam ahli waris berdasarkan bagian-bagian yang diterima!

3. Jelaskan mekanisme untuk menentukan penerima asabah jika ahli waris terdiri dari beberapa kelompok.!

F. RUJUKAN

Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia,, Bandung, 1999

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz 2, Usaha Keluarga, Semarang, tt



[1] Dra. Ahmad Rofiq, MA, Op. Cit., hlm. 49

[2] Ibid., hlm. 50-51.

[3] Ibid., hlm. 51-52

[4] Ibid., hlm. 54

1. [5] Drs. Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia,, Bandung, 1999, hlm. 98

[6] Jika bersama-sama anak laki-laki maka akan bersama-sama menerima bagian ashabah,. Begitu juga cucu perempuan bersama-sama cucu laki-laki. Hal tersebut didasari ketentuan bagian anak laki-laki dua kali bagian nak perempuan.

[7] Masalah ini sering disebut al-jadd ma’a al-ikhwah.

[8] Drs. Ahmad Rofiq, MA. Op. Cit., hlm. 55-57.

[9] Ibid., hlm. 60-61.

[10] Drs. Dian Khairul Umam, Op. Cit., hlm. 80-82.

[11] Drs. Ahmad Rofiq, MA, Op. Cit., hlm. 61.

[12] Ibid., hlm. 62.

[13] Ibid., hlm. 66.

[14] Ibnu Rusyd, Op. Cit., hlm. 254

Tidak ada komentar: